Wednesday, April 9, 2014

REFRACTORY MATERIAL (an introduction)



Oleh: Helmi Abdulgani


Refractory di definisikan sebagai daya tahan suatu zat atau bahan untuk tidak mengalami perubahan bentuk pada temperatur tinggi.  Jadi pengetahuan tentang refractory adalah suatu pengatahuan dimana kita berusaha untuk mengenal sifat-sifat ( baik sifat-sifat kimia maupun sifat-sifat fisik) suatu bahan, apabila bahan ini dihadapkan pada temperatur tinggi yang biasanya melebihi 700 oC. Jadi  dapatlah dikatakan bahwa semua bahan  yang  tidak mengalami perubahan bentuk pada temperature tinggi  di katagorikan sebagai  bahan refractory. Sebagi contoh, bahan baku bata api, yang diantaranya  tanah liat (Clay mineral ), Alumina (Al2O3), Silicate mineral (SiO2), Magnesia (MgO), Calsite (CaO)  dan berapa bahan yang lain adalah bahan-bahan refractory. Perlu ditambahakan bahwa masing-masing bahan ini mempunyai batasan  temperatur masing-masing dimana ia dapat mempertahankan bentuknya. Hal ini sangat tergantung dari sifat refractoriness dari bahan-bahan itu sendiri.

Material refractory dapat diklasifikasikan dalam berbagai group, tetapi yang paling umum adalah sebagai berikut

1.       Berdasarkan sifat-sifat kimia
2.       Berdasarkan thermal conductivity
3.       Berdasarkan refractoriness

Berdasarkan sifat-sifat kimia, material refractory dibagi dalam 3 group yaitu:

1.       Refractory asam (acidic refractories) dimana refractory ini dapat bereaksi dengan slag, atau bahan lain yang bersifat basa (basic slag). Sebagai contoh  dari refractory ini adalah silica dan alumina

2.       Refractory basa (Basic refractories) dimana refractory ini dapat bereaksi dengan slang atau bahan lain yang bersifat asam (asidic slag). Sebagai contoh dari refractory ini adalah calsite dan magnesite
3.       Refractory netral (Neutral refractories), dimana refractory ini bersifat netral terhadap slag basa maupun terhadap slag asam. Sebagai contoh dari refractory ini adalah silicon carbite dan zirconia.
Berdasarkan sifat thermal conductivity, refractory material dapat dibagi dalam 2 group yaitu
1.       Refractory penghantar panas, dimana refractory ini dapat menghantar panas dengan baik. Sebagai contoh silicon carbite dan zirconium carbite
2.       Refractory penghambat  panas, diman refractori ini dapat meghambat aliran panas dari temperature tinggi ke tempertur rendah. Sebagai contoh silica dan alumina
Berdasarkan refractoriness, refractory material dapat dibagi dalam 4 group
1.       Refractory dengan refractoriness rendah, dimana temperatur fusion point berkisar antara 1520 oC sampai dengan 1630 oC, dengan PCE (pyrometrics cone equivalent) berkisar antara 19 sampai  dengan 28. Contoh: calsite
2.       Refractory dengan refractoriness intermediate, dimana temperature fusion point berkisar antara 1631 oC sampai dengan 1670 oC, dengan PCE berkisar antara 29 sampai dengan 30. Contoh : fire clay
3.       Refractory dengan refractoriness tinggi, dimana temperature fusion point berkisar antara 1671 oC sampai dengan 1730 oC, dengan PCE berkisar antara 31 sampai dengan 33. Contoh: Chromite
4.        Refractory dengan refractoriness super, dimana temperature fusion point lebih besar dari 1730 oC, dengan PCE berkisar antara 33 sampai dengan 38. Contoh Magnesite
Sifat-sifat refractory berikut ini sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pemilihan jenis material refractory yang akan digunakan untuk applikasi tertentu. Sifat2 itu adalah:
1.       Refractoriness
2.       Refractoriness Under Load
3.       Thermal Conductivity
4.       Porosity
5.       Thermal Spalling
Refractoriness
Refractoriness  adalah temparatur dimana  material refractory, akan mengalamai deformasi bentuk oleh beratnya sendiri. Artinya pada saat  temperature refractoriness tercapai , refractory material itu akan mengalami perubahan bentuk dengan sendirinya tanda dibebani sekalipun.
 Refrarctoriness ini diukur dengan suata standart yang disebut dengan Pyrometric cone equivalence (PCE). Teknik ini pertama sekali digunakan oleh seorang ahli Keramic Jerman yang bernama Seger, dan oleh karena itu sering juga disebut Seger Cone equivalent (SK). Suatu material refractory tidak boleh digunaka bila termperatur kerjanya diatas temperature refractoriness bahan tersebut.

  

Refractoriness Under Load
Sebenarnya, didalam praktek sehari-hari, refractoriness  suatu material jauh lebih rendah dari yang didapatkan dengan mengunakan sistim Seger. Hal ini karena dalam pemakaian sehari-hari selalu ada beban yang dipikul oleh material refractory. Oleh karena itu untuk mengetahui  suhu yang tepat di mana suatu refractory material masih dapat digunakan, dipakailah system pengetesan refractory terbebani. Sistim ini disebut Refractoriness Under Load (RUL).


Methode pengetasan ini menggunakan specimen dalam betuk balok yang dibebani dan dipanaskan dengan kecepatan  10 oC/menit, sampai specimen tersebut mengalami deformasi 10 %. Temperatur dimana deformasi 10 % ini terjadi disebut temperature RUL untuk bahan itu. Besarnya beban yang digunakan pada pengetesan ini ada dua,yaitu  1.75 kg/cm2 dan 3.75 kg/m2. Jadi jika 3 buah specimen yang terbuat dari bahan yang sama dibebani dengan tekanan 3.75 kg/cm2 dan dipanaskan dalam  oven dengan kenaikan temperature 10 oC /menit, dan temperature dimana masing-masing specimen mengalami deformasi 10 % di catat, maka temperature RUL adalah suhu rata dari ke tiga specimen tersebut. Misalkan nilai rata-rata temperatur itu adalah 1680 oC, maka nilai RULnya akan dilapurkan sebagai RUL 1680 oC dengan beban 3.75 kg/cm2

Thermal Conductivity
Thermal Conductivity material refractory sangat dipengaruhi oleh komposisi dan porosity. Refractory material  yang terbuat dari  bahan-bahan dengan composisi yang berbeda akan mempunyai themal conductivity yang berbeda pula. Begitu juga tentang porosity, makin besar porosity, makin kecil thermal conductivitasnya, demikian juga sebaliknya. Sayangnya makin besar porosity makin berkurang kekuatan refractory material tersebut dan hal ini sama sekali tidak kita inginkan.
Refractory material yang mempunyai thermal conductivity  besar biasanya digunakan pada heat exchanger seperti pada recuperator dan regenerator. Sedangkan refractory material yang mempunyai thermal conductivity  rendah digunakan bila konservasi energy panas diperlukan, seperti pada heat treatment furnace.
Porosity
Porosity adalah ruangan-ruangan kosong yang terdapat dalam suatu bahan refractory, dan dinyatakan dengan membandingkan volume total ruangan-ruangan kosong yang saling terhubung dalam material refractory itu dengan total volume keseluruhan refractory material tersebut dan kemudian dikalikan dengan 100 sehingga dapat dinyatakan dalam persentase.

Apabila dalam suatu proses, slag atau gas  atau bahan lain terjadi kontak langsung dengan material refrarctory, maka harus dipilih bahan refractory dengan porosity yang rendah untuk menghindari penetrasi cairan slag atau gas kedalam body refractory material tersebut. Karena bila penetrasi terjadi ada kemungkinan mineral-mineral yang terdapat dalam body refractory material akan bereaksi dengan cairan slag, gas atau bahan lain yang masuk sehingga melemahkan kekuatan refractori material tersebut.

Perlu diingat bahwa porosity dapat mengurangi:
·         Daya tahan terhadap serangan bahan kimia
·         Kekuatan bata api
·         Thermal conductivity
·         Thermal spalling
Sebaliknya porosity dapat memperbesar:
·         Kecepatan pengikisan
·         Kecepatan korosi

Stabilitas dimensi (Dimensional Stability)

Stabilitas dimensi adalah suatu istilah yang digunakan untuk mengukuran kemampuan suatu material refractory untuk tetap mempertahankan volumenya pada saat sedang dalam beroperasi.Perubahan dimensi dapat terjadi secara reversible ( dapat berbalik ke ukuran semua) atau secara irriversiblke ( perubahan kekal, tidak kembali ke ukuran semula). Perubahan ukuran reversible (perubahan sementara) biasanya terjadi pada temperatur  di bawah 750 oC. Perubahan sementara ini disebabkan oleh sifat material yang disebut termal expanstion coefficient, yaitu sifat material dimana material tersebut bertambah panjang bila dipanaskan dan bertambah pendek bila didinginkan. Sedangkan perubahan permanen disebabkan oleh permanen expantion atau contraction yang terjadi pada partikel-partikel refractori material atau  bisa juga karena terjadinya phase transformation pada saat pemanasan atau pendinginan.
Perubahan permanen (irrivesiblle) dapat juga terjadi karena adanya perubahan phasa. Contohnya apabila amorphous magnesite dipanaskan  maka akan terjadi perubahan phasa menjadi crystalline Periclase. Pada perubahan ini terjadi penyusutan volume. Sedangkan pada berubahan quartz menjadi tridymite akan terjadi memuaian volume, tetapi pada perubahan tridymite menjadi Crystobalite akan terjadi penyusutan volume. Quartz akan berubah menjadi Tridymite pada suhu 870 oC, dan apabila suhu terus ditingkatkan sampai 1470 oC maka Tridymite akan berubah menjadi Crystobalite.

Thermal Spalling
                                                                                                                    
Terjadinya pengelupasan refractory karena pengaruh temperature tinggi disebut themal spalling. Ini disebabkan oleh pemuaian dan penyusuatan refractory material tidak terjadi secara merata

Beberapa akibat dari  thermal spalling adalah seperti berikut ini:

1.       Memudahkan penetrasi Slag
2.       Mempercepat Korosi
3.       Mempercepat penipisan refractory (Abrasion)

Thermal Spalling dapat dikurangi dengan cara:

1.       Menggunakan material refractory dengan coefficient muai yang rendah, dan menghindari fluktuasi temperature dengan tiba-tiba.
2.       Menggunakan refractory material  dengan porosity tinggi bila memungkinkan.
3.       Menggunakan refractory material dengan thermal conductivity yang baik bila memungkinkan.
4.       Overfiring refractory brick pada temperatur tinggi.
5.       Bila mungkin merancang furnace sehingga stress bila dieliminir.